Beranda | Artikel
Meniru-niru Tindak-tanduk dan Suara-suara Binatang
Jumat, 30 Oktober 2009

MENIRU-NIRU TINDAK-TANDUK DAN SUARA-SUARA BINATANG

Tulisan ini membicarakan tentang hukum meniru-niru binatang. Baik dalam aspek tingkah-laku atau suara-suaranya. Tindakan ini sering dilakukan oleh para pendidik di level taman kanak-kanak, atau para orang tua dalam upaya mendidik anak-anak mereka yang masih kecil, atau para pendongeng. Baik dalam rangka mengenalkan alam semesta atau sekedar menghibur anak-anak.

Jika dengan mengetengahkan cerita-cerita fiksi, berarti sudah menambahinya dengan kedustaan. Tentang peran cerita dalam pendidikan dan pengembangan kemampuan  analitik anak didik, tidak terbantahkan. Namun, sebagai pendidik, sudah saatnya untuk ‘berani’ berkata tidak terhadap cerita-cerita fiktif. Apalagi sampai mengadopsi cerita-cerita dari Barat.yang banyak berseberangan dengan syari’at.

Pasalnya, Islam sangat kaya dengan cerita-cerita yang edukatif, baik dalam al Qur`an maupun Al Hadits. Dalam sejarah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (sirah) sendiri sarat dengan nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi cermin para pendidik muslim. Atau cerita-cerita perjalanan hidup para sahabat, tabi’in dan para ulama rabbani lainnya.

Kaum Muslimin Umat Paling Afdhal
Allah Subhanahu wa Ta’ala sudah memuliakan umat Islam di atas umat-umat lainnya.  Keutamaan umat ini bukan karena suku, warna kulit, wilayah ataupun bahasa, namun berdasarkan ketakwaannya kepada Allah.   Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian”. [Al Hujurat/49 : 13]

Kemuliaan ini harus senantiasa dijaga. Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah mengatakan : “Apabila seorang muslim mengetahui bahwa Allah telah memuliakan umat ini, maka kewajibannya untuk memuliakan dan menjauhkan dirinya dari hal-hal yang akan menghinakannya’. [1]

Islam menginginkan supaya kepribadian seorang muslim berbeda dengan orang-orang non muslim. Maka sudah semestinya, ia mempunyai jati diri yang sempurna dan layak  dengan dirinya.

Oleh karenanya, aturan-aturan agama Islam begitu banyak melarang seorang muslim bertasyabbuh dengan bangsa-bangsa kafir yang telah binasa atau orang-orang kafir sekarang. Allah Azza wa Jalla berfirman :

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا

Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. [Al Maidah/5 : 48]

Sebagaimana juga Islam mengarahkan kaum muslimin agar berbeda dengan orang-orang yang dangkal (kurang) agamanya seperti ahli bid’ah, orang-orang sesat dan orang-orang fasik serta  pelaku maksiat. Juga mengarahkan agar mereka menyelisihi karakter orang-orang yang kurang ilmu, seperti orang-orang Badui dan orang-orang yang serupa dengan  mereka.

Syariat Islam juga menjamin keterpeliharaan fitrah yang Allah Azza wa Jalla ciptakan pada manusia. Sehingga melarang seorang lelaki tasyabuh dengan perempuan, atau sebaliknya. Sebab, masing-masing mempunyai peran tersendiri di kehidupan ini, kewajiban-kewajiban serta kodrat yang berbeda dengan lawan jenisnya. Juga Islam ingin meninggikan kedudukan seorang muslim dengan melarang bertasyabuh dengan hewan-hewan’[2]

Tasyabuh Dengan Binatang
Makna tasyabuh, seperti yang telah disimpulkan oleh  Syaikh Jamil bin  Habib al Luwaihiq dalam disertasinya : ‘Usaha seseorang untuk meniru selainnya dalam seluruh aspek yang menjadi ciri khas obyek yang ditiru atau sebagiannya saja’

Usaha seseorang untuk meniru selainnya dalam aspek-aspek yang menjadi cirri khas obyek yang ditiru, baik yang ditiru itu seluruhnya atau sebagiannya saja

Dari definisi di atas, faktor kesengajaan menjadi acuan pertama. Artinya, apabila terjadi tasyabuh tanpa ada unsur kesengajaan, maka keluar dari topik ini. Demikian pula, obyek yang ditiru luas, mencakup makhluk yang berakal, misalnya manusia,  ataupun tidak, seperti  binatang. Ungkapan tasyabuh ini seringkali dipakai pada peniruan terhadap perkara-perkara yang zhahir (tampak).[3]

Syaikhul Islam menyoroti salah satu bentuk tasyabuh yang menjadikan manusia (seorang muslim) akan keluar dari fitrah dan nilai-nilai syariat Islam yang luhur[4]. Yaitu meniru-meniru tingkah laku dan suara binatang-binatang. Kata beliau[5]: ‘Tasyabuh dengan binatang-binatang dalam perkara-perkara yang dicela oleh syariat, merupakan perbuatan yang madzmum (tidak terpuji) lagi terlarang, dalam meniru-niru suara-suaranya, tindak-tanduknya dan lain sebagainya. Misalnya melolong layaknya lolongan anjing atau meringkik bak ringkikan keledai dan lain sebagainya. Sisi celanya ditilik dari beberapa alasan:

Alasan pertama: (Qiyas aula). Terdapat celaan meniru-niru sebagian manusia, seperti orang-orang Badui, non Arab dalam aspek yang menjadi karakter asli mereka. Pasalnya, peniruan tersebut akan mengakibatkan penurunan nilai-nilai dan menyeret kepadanya. Oleh karenanya, meniru-niru binatang pada sisi yang menjadi watak keasliannya lebih tercela dan lebih terlarang. [6]

Sebab, seorang manusia yang berasal dari Badui atau bukan orang Arab lebih baik dari anjing, keledai atau babi. Jika sudah terdapat larangan bertasyabuh  dengan jenis-jenis manusia seperti ini, maka tasyabuh dengan binatang dalam aspek yang menjadi karakternya lebih tercela dan dilarang”[7].

Alasan kedua: Terdapat celaan terhadap orang-orang yang berwatak keras lantaran sering bergaul dengan sebagian binatang. Karena terpengaruh dengan kebiasaannya. Misalnya, orang-orang yang melatih anjing dan onta.  Celaan ini berkonsekuensi melarang meniru-niru binatang-binatang tersebut dalam sifat-sifatnya yang tercela.

Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan: “Bahkan kaidah ini, melalui makna peringatan implisit yang terkandungnya, melarang tasyabuh dengan binatang secara mutlak dalam aspek yang merupakan karakternya. Kendatipun, sebenarnya tidak tercela tindakan itu. Pasalnya, efeknya akan mengakibatkan peniruan pada dimensi yang nanti dicela”. [8]

Alasan ketiga: Manusia menjelma seperti binatang, sebuah kejadian yang tercela. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

Dan sesungguhnya Kami menjadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah). Dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”. [Al A’raf/7 : 179]

Alasan keempat: Sesungguhnya Allah menyamakan manusia dengan anjing dan keledai serta binatang lainnya dalam rangka mencelanya. Misalnya dalam firmanNya:

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَاَ الَّذِيْٓ اٰتَيْنٰهُ اٰيٰتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَاَتْبَعَهُ الشَّيْطٰنُ فَكَانَ مِنَ الْغٰوِيْنَ  ١٧٥  وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنٰهُ بِهَا وَلٰكِنَّهٗٓ اَخْلَدَ اِلَى الْاَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوٰىهُۚ فَمَثَلُهٗ كَمَثَلِ الْكَلْبِۚ اِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ اَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْۗ ذٰلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَاۚ فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ  ١٧٦سَاۤءَ مَثَلًا ۨالْقَوْمُ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَا وَاَنْفُسَهُمْ كَانُوْا يَظْلِمُوْنَ  

Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi al Kitab). Kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu. Lalu ia diikuti oleh syaithan (sampai ia tergoda). Maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat iu. Tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah. Maka, perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya, dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir. Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zhalim [Al A’raf/7 : 175-177]

dan firmanNya :

مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا

Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tidak memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kital tebal…[Al Jumu’ah/62 : 5]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اعْتَدِلُوا فِي السُّجُودِ وَلَا يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ انْبِسَاطَ الْكَلْبِ

Luruslah kalian dalam bersujud. Jangan sampai salah seorang kalian membentangkan lengannya seperti bentangan seekor anjing’.  [HR. Al Bukhari no: 788 Muslim 493]

al Munawi menuliskan sebuah ta’liq pada hadits ini: “Dalam hadits ini terkandung larangan bertasyabuh dengan hewan-hewan yang hina dalam akhlak, sifat, cara duduk dan lain sebagainya”.[9]

Jika serupa dengan binatang itu saja sudah tercela padahal tanpa ada maksud untuk menirunya. Maka, orang yang sengaja ingin menirunya lebih tercela lagi. Tetapi, bila menirunya dalam obyek yang dicela oleh syariat, maka ia menjadi tercela dari dua sisi. Jika meniru dalam obyek yang tidak dicela oleh syariat, ia tercela dari sisi melakukan tasyabuh yang menyeretnya kepada perkara yang dicela. [10]

Alasan kelima: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ 

Sesungguhnya malaikat tidak masuk rumah yang berisi anjing’. [HR. al Bukhari Muslim]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمْ صِيَاحَ الدِّيَكَةِ فَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ فَإِنَّهَا رَأَتْ مَلَكًا وَإِذَا سَمِعْتُمْ نَهِيقَ الْحِمَارِ فَتَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنْ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ رَأَى شَيْطَانًا

Jika kalian mendengar kokokan ayam, maka mohonlah keutamaan dari Allah, karena sesungguhnya dia melihat Malaikat. Jika kalian mendengar ringkikan keledai, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari syaithan, karena sesungguhnya ia melihat setan. [HR. Bukhari dan Muslim]

Ini menunjukkan bahwa suara-suaranya menyerupai syaithan dan menjauhkan malaikat. Dan sudah diketahui, yang meniru sesuatu, sudah pasti akan menyentuh sebagian hukum-hukumnya sesuai dengan kadar tasyabuh. Bila meringkik seperti ringkikan keledai, maka perbuatan ini mengandung penyerupaan dengan syaithan dan menjauhkan malaikat. Sesuatu yang mendatangkan syaithan dan menjauhkan malaikat, tidak diperbolehkan untuk dikerjakan kecuali dalam kondisi darurat. Oleh karenanya, tidak diperbolehkan memiliki anjing kecuali dalam kondisi darurat. Untuk mendatangkan kemanfaatan, seperti dalam berburu atau mencegah bahaya dari binatang ternak atau tanaman. Sampai-sampai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ اقْتَنَى كَلْبًا إِلَّا كَلْبَ مَاشِيَةٍ أَوْ حَرْثٍ أَوْ صَيْدٍ  نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطٌ

Barang siapa memiliki anjing selain untuk (menjaga) binatang ternak atau tanaman atau untuk berburu, akan berkurang amalannya sebesar qirath setiap harinya’. [HR. al Bukhari Muslim]

Alasan keenam: Qiyas tentang larangan tasyabuh lelaki kepada wanita dan sebaliknya.
Nabi melaknat orang-orang lelaki yang bertasyabuh dengan wanita, dan melaknat wanita-wanita yang bertasyabuh dengan lelaki’. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan ciri khas bagi masing-masing jenis. Namun, antara lelaki dan perempuan terdapat persamaan yang banyak sekali. Sisi persamaan ini tidak menjadi ciri khusus bagi masing-masing jenis. Karenanya, tidak ada larangan padanya. Misalnya kebutuhan makan, minum dan lainnya.

Larangan-larangan berlaku pada hal-hal yang menjadi ciri khasnya saja. Apabila perkara-perkara yang menjadi ciri wanita, maka tidak boleh lelaki bertasyabuh padanya. Dan perkara-perkara yang menjadi trade mark lelaki, wanita tidak boleh menirunya.

(Begitu pula) hal-hal yang menjadi ciri khas binatang, sudah tentu dan sepantasnya manusia tidak boleh menirunya dalam masalah-masalah itu.

Kesimpulan
Usai mengutarakan alasan-alasan di atas, Syaikhul Islam mengatakan: ‘Apabila demikian, Allah telah menjadikan manusia benar-benar berbeda dengan hewan secara  prinsip, dan menjadikan kesempurnaannya dan kebaikannya dalam perkara yang pantas baginya. Keseluruhannya tidak menyerupai hewan. Apabila ada orang yang sengaja meniru-niru hewan dan merubah penciptaan Allah, sungguh telah memasuki kerusakan fitrah dan syariat. Dan hukumnya haram wallahu a’lam.’[11]

Jadi, Islam datang mendukung fitrah manusia. Sebab, mustahil dalam agama Allah terdapat kandungan yang bertentangan dengan fitrah. Allah Maha Hakim, Maha Mengetahui ciptaanNya, menempatkan syariat yang berkorelasi dengan fitrah ciptaanNya.

Tidak berhenti pada penataan fitrah. Syariat Islam juga mentazkiyah (mensucikan) fitrah manusia agar menjadi luhur. Tujuannya, agar kedudukan  manusia terangkat lebih tinggi dari golongan binatang yang hanya ingin memenuhi kebutuhan duniawinya semata. Agar menjadi orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah, yang selalu menunggu-nunggu kenikmatan yang Allah persiapkan bagi mereka di akhirat kelak di syurgaNya.

Sehingga fitrah manusia tetap berada di atas relnya, semakin mengkilat dan terjaga dari noda-noda. Karenanya, Islam menyandang sebutan dinul fitrah (agama fitrah).

Imam al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahih dari Abu Hurairah z bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam menempuh perjalan Isra`, disodori dua bejana, salah satunya berisi air susu. Dan lainnya berisikan khomer. Malaikat Jibril berkata: ‘Minumlah apa yang engkau inginkan’. Beliau kemudian mengambil susu dan meminumnya. Setelah itu ada yang bersuara:

أَصَبْتَ الْفِطْرَةَ أَمَا إِنَّكَ لَوْ أَخَذْتَ الْخَمْرَ غَوَتْ أُمَّتُكَ

Engkau menepati fitrah. Jika engkau mengambil khomer, niscaya umatmu akan tersesat’.

Dalam lafazh yang lain:

أَصَبْتَ أَصَابَ اللَّهُ بِكَ أُمَّتُكَ عَلَى الْفِطْرَةِ

Engkau tepat. Allah telah mengarahkanmu kepada yang tepat. Umatmu akan berada di atas fitrah’.

Dalam lafazh lain, malaikat Jibril berkata:

اخْتَرْتَ الْفِطْرَةَ

Engkau telah memilih fitrah[12]

Referensi :

  1. Majmu al Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
  2. Raf’udz Dzulli Wal Hawan Abdul Malik Ramadhani Cet. II tanpa penerbit
  3. At Tasyabbuhul Manhiyyu ‘Anhu Fil Fiqhil Islami Jamil bin Habib al Luwaihiq Darul Andalus al Khadhra` Jedah Cet. I Th 1419 H – 1999 M

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 9//Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1]  Raf’udz Dzulli hlm. 10.
[2]  At Tasyabbuh al Manhiyyu ‘Anhu  Hlm. 8
[3]  At Tasyabbuh al Manhiyyu ‘Anhu hlm 32
[4]  Secara terperinci, silahkan lihat Majmu’ al Fatawa 32/256-260
[5]  Majmu’ul Fatawa : 32/256-260 dengan sedikit ringkasan, at Tasyabbuh al Manhiyyu Anhu Fil Fiqhil Islami hlm.  75-77
[6]  Majmu al Fatawa : 32/257. at Tasyabbuh al Manhiyyu hlm. 76
[7]  ibid : 32/258
[8]  ibid : 32/258
[9]  Faidhul Qadir karya al Munawi (1/553). Kutipan dari at Tasyabbuh al Manhiyyu ‘Anh hlm. 76
[10] Majmu’ al Fatawa : 32/257
[11]  Majmu’ al Fatawa : 32/260
[12]  HR. al Bukhari  dan Muslim


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2559-meniru-niru-tindak-tanduk-dan-suara-suara-binatang.html